Wrong World
Rabu, 22 Desember 2010
Selasa, 14 Desember 2010
Sajak Orang Kepanasan-W.S. Rendra
dan terigu menumpuk di gudangmu
Karena kami hidup berhimpitan
dan ruangmu berlebihan
maka kita bukan sekutu
Karena kami kucel
dan kamu gemerlapan
Karena kami sumpeg
dan kamu mengunci pintu
maka kami mencurigaimu
Karena kami terlantar di jalan
dan kamu memiliki semua keteduhan
Karena kami kebanjiran
dan kamu berpesta di kapal pesiar
maka kami tidak menyukaimu
Karena kami dibungkam
dan kamu nrocos bicara
Karena kami diancam
dan kamu memaksakan kekuasaan
maka kami bilang tidak kepadamu
Karena kami tidak boleh memilih
dan kamu bebas berencana
Karena kami cuma bersandal
dan kamu bebas memakai senapan
Karena kami harus sopan
dan kamu punya penjara
maka tidak dan tidak kepadamu
Karena kami arus kali
dan kamu batu tanpa hati
maka air akan mengikis batu
(Grogol, 13 Mei 1998)
Senin, 13 Desember 2010
Minggu, 12 Desember 2010
Peradilan Rakyat
Peradilan Rakyat
Cerpen Putu WijayaSeorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.
"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."
Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.
"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"
Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."
"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."
Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.
"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."
Pengacara tua itu meringis.
"Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."
"Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"
Pengacara tua itu tertawa.
"Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.
Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.
"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."
Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.
"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog."
"Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."
"Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.
Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.
Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."
Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.
"Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya."
"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.
Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.
"Bagaimana Anda tahu?"
Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa kamu."
Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.
"Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."
Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
"Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"
"Antara lain."
"Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."
Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.
"Jadi langkahku sudah benar?"
Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.
"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
"Tidak! Sama sekali tidak!"
"Bukan juga karena uang?!"
"Bukan!"
"Lalu karena apa?"
Pengacara muda itu tersenyum.
"Karena aku akan membelanya."
"Supaya dia menang?"
"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."
Pengacara tua termenung.
"Apa jawabanku salah?"
Orang tua itu menggeleng.
"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang."
"Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan."
"Tapi kamu akan menang."
"Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."
"Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."
Pengacara muda itu tertawa kecil.
"Itu pujian atau peringatan?"
"Pujian."
"Asal Anda jujur saja."
"Aku jujur."
"Betul?"
"Betul!"
Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi.
"Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"
"Bukan! Kenapa mesti takut?!"
"Mereka tidak mengancam kamu?"
"Mengacam bagaimana?"
"Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?"
"Tidak."
Pengacara tua itu terkejut.
"Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"
"Tidak."
"Wah! Itu tidak profesional!"
Pengacara muda itu tertawa.
"Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!"
"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"
Pengacara muda itu terdiam.
"Bagaimana kalau dia sampai menang?"
"Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!"
"Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"
Pengacara muda itu tak menjawab.
"Berarti ya!"
"Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"
Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.
"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok."
"Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."
"Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?"
"Betul."
"Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.
Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."
Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."
Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.
"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."
"Tapi..."
Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.
"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam."
Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.
"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."
Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.
Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.
"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?" ***
Keadilan itu milik siapa sih ?
Namun kelihatanya keadilan hanyalah milik yang punya kekuasaan dan kekuatan (uang) dan bagi kami yang kecil hanya bisa pasrah walaupun seringkali harus mendekam di balik jeruji besi tanpa bisa berbuat lebih jauh.
Hal ini seperti dialami oleh Nenek Minah yang yang harus rela diganjar 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan hanya karena tiga buah biji kakao.
Tak berapa lama kita juga disuguhi berita memelas dari Kholil (51) dan Basar (40) warga Lingkungan Bujel, Kelurahan Sukorame, Kecamatan Mojoroto yang harus rela menjadi pesakitan di pengadilan karena mencuri 1 buah semangka dan terancam hukuman lima tahun penjara.
Belum lagi apa yang terjadi minggu kemaren dimana Seorang peneliti sejarah Universitas Indonesia dianiaya lima polisi di Depok, Jawa Barat, Ahad (6/12). Ironisnya, korban yang diketahui bernama JJ Rizal ini adalah korban salah tangkap. Rizal tidak terima meski Kepala Kepolisian Resor Depok telah meminta maaf. Ia pun melaporkan kasus penganiayaan dirinya ke Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Metro Jaya. Kasus yang menimpa Rizal bukanlah yang pertama. Seorang pemuda di Gorontalo juga dianiaya dengan cara dipukul oleh polisi. Bukan cuma itu, sang korban Kasman Noho juga dipaku tangannya saat diperiksa polisi. Akibatnya, Kasman pun harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit setempat lantaran tubuhnya penuh luka bekas siksaan.
Dari dua kasus beruntun ini, wajar bila profesionalisme maupun kinerja polisi dipertanyakan. Kekerasan dan penyiksaan masih menjadi alat dalam menjalankan tugas. Ironisnya lagi, kekerasan ini selalu meminta korban orang kecil. Sementara untuk orang berdompet tebal, mendapat perlakuan berbeda. Sumber : http://berita.liputan6.com
Dari dua kasus beruntun ini, wajar bila profesionalisme maupun kinerja polisi dipertanyakan. Kekerasan dan penyiksaan masih menjadi alat dalam menjalankan tugas. Ironisnya lagi, kekerasan ini selalu meminta korban orang kecil. Sementara untuk orang berdompet tebal, mendapat perlakuan berbeda. Sumber : http://berita.liputan6.com
Dan yang semakin memiris hati nurani kita adalah apa yang dialami oleh Ibu Prita, dimana beliau diharuskan membayar Rp. 204 juta karena kalah dalam putusan banding Pengadilan Negeri Tangerang. Untunglah masih ada orang yang peduli dan bersedia meringkankan pederitaan beliau dengan menanggung 1/2 dari jumlah tersebut. Selain itu juga timbul inisiatif dari Ibu-ibu dan rakyat kecil lainya dengan menyumbangkan koin untuk Prita, yang dikumpulkan sedikit-demi sedikit oleh beberapa posko.
Memang jumlahnya mungkin tidak seberapa namun ini membuktikan adanya ketidak adilan dimana hanya rakyat kecil yang selalu menjadi korban.
Lalu sebenarnya Keadilan itu milik siapa?
Apakah kita harus menjadi penguasa dan punya kekuatan (uang) agar bisa memperoleh keadilan ?
Semoga apa yang terjadi dari kasus-kasus tersebut, membuka hati nurani para penegak hukum dan aparat keadilan, agar kami bisa memperoleh keadilan, karena kemana lagi kita harus mencari….
Kemana Seorang Reformis Sejati
Banyak sekarang yang mengaku sebagai seorang reformis sejati mereka tidak hanya memberikan statemen yang bermacam macam adanya hanya demi memperoleh keuntungan pribadi. Contoh hal tersebut memang perlu menjadi bahan renungan semua sebagai lemahnya sifat-sifat seorang reformis bajakan.Banyak seorarang reformis musiman bergerak dari aktivis pembela tanah air bangsa mulai menunjukkan tanduknya merabah kedunia pemerintahan dan melalui berbagai jalan bisa masuk partai dll. Tapi itu tidak masalah selama mereka tidak tergiur nikmat dan kejamnya dunia politik di pemerintahan. Banyak korupsi yang dilakukan seorang reformis palsu yang berdalih macam-macam demi negara alah taunya ya tetep aja gak bener siapa yang gak tergiur uang didepan mata, wanita didepan mata katanya dalam benak mereka. Dan itu membuat sedikit mempengaruhi hal-hal fundamental pembangunan suatu negara dari segala aspek. Ya setidaknya reformis tidak melakukan hal tersebutlah tapi bukannya diam klo perlu angkat tangan-tangan setan didalam jangan hanya jadi seorang reformis tidak produktif. Lakukan masak kebenaran kalah sama kejahatan ya mungkin sebagian reformis ada yang berani melakukan tapi tetap ada yang telah dilaporkan tetap kebal hukum waduh gimana solusinya . Kata orang gak berpendidikan tapi sedikit membangun jiwa reformis sejati wah santet mati aja klo emang bener lebih baik korban satu daripada rakyat banyak. Dari hal tersebut kita mengambil semangat positif yang perlu diteladani masa kalah sama orang gak berpendidikan. Seorang reformis harusnya muncul dengan jiwa apa adanya kebal godaan tidak ada imbalan berjuang sampai mati dengan tidak melupakan kewajiban mereka selain sebagai seorang reformis. Saya salut kepada menurut saya seorang reformis sejati seperti alm. Munir yang berjuang hingga akhir hayatnya. Kemana Seorang Reformis Sejati?Tapi saya optimis pasti akan muncul Seorang Reformis Sejati……….Amin
Kebenaran, Kebatilan Yang Terorganisir, Dan Kekuatan Uang (dan gua hanya diem melihat, mendengar dan diusir secara halus)
Gua menulis ini dengan rasa kecewa yang mendalam lebih dari rasa putus dari riri, sama seorang pejuang kebenaran yang selalu gua lihat punggung belakangnya saat gua berjalan bersama dia,Membayangkan apa yang akan dia lakukan, yang ngebuat gua ga mau bertanya sedikit pun, yang ngebuat gua terkesima dengan strateginya. Seorang yang selalu buat gua bangga menceritakan dia sama orang lain.Seseorang yang selalu bilang "dengan inilah kita akan mengungkap kebenaran". Seorang yang selalu semangat bilang kalau dia ga pernah takut dengan siapapun yang dia hadapin. But thats life, Kalau di novel dimulai dari "Dahulu kala" dan diakhiri dengan "mereka hidup bahagia selamanya", tapi kalo di hidup beneran, kayaknya dimulai dengan kata-kata indah seperti " mereka hidup bahagia " sampe akhirnya " inilah hidup"(penyesalan).
Jadi gua buat prolog dulu sesuai dengan judul yang gua buat di atas. Ga tau nyambung atau enggak sama isi cerita "pembohongan hidup" yang gua tulis ini. bodo amat.
Batam - Mengutip berita di detik.com yang diucapkan Susno.
Susno: Apakah Mengungkap Kebenaran Perlu Dihukum?
Liat pak Susno yang menjadi musuh institusi yang membesarkan dia, setelah dibuang dia baru nemuin motivasi untuk mengungkap kebenaran. Seperti yang dia ucapin, apa orang yang mau mengungkap kebenaran di negara merdeka ini harus di hukum ?
Kasian orang2 yang pengen bilang kebenaran, kayak gua yang ga punya ilmu gini aja bingung gimana caranya nyampein ada yang salah. Orang yang punya ilmu, kemampuan, bahkan data dan Fakta kebenaran pun susah nyampeinnya.
Mau berjuang sendiri ? Gua bisa bilang sekarang ini ga bisa.
Lanjut, gua juga mengutip kata-kata ini di facebook yang gua bilang sangat keren.:
Terus gua mengutip opini seseorang :
![](https://lh3.googleusercontent.com/blogger_img_proxy/AEn0k_uYVSJ-ICZFB8Bw-_eReqTrWZaVnoXlkJxhXAPGKxsWiKI222PJH0UonPoIXBxZhnkRW09hxpzBGrrHFzpOXgCSyPWbLUo08jQtHzmDQeachMJX8gK-5frJZGXiZ0IzqTTdnwVRqyXFtA=s0-d)
Mengamati hasil sidang pansus diDPR minggu lalu,sungguh membuat hati ini miris,ternyata kebenaran yg hakiki harus kalah oleh voting,dimana suara bisa dibeli demi kepentingan pribadi dan golongan.membaca wawancara wimar witoelar diperspetif,semakin kuat dugaan adanya money politic dilakukan oleh ical dalam voting tempo hari.http://forum.detik.com/showthread.php?t=147895?883306frm
Kalau sudah begini,apa yang bisa diharapkan dari majoritas anggota dpr yg ternyata bisa dibeli asal ada uang?kami sebagai rakyat jelata jadi pesimis pemerintah akan gagal menjalankan roda pemerintahanya dengan baik,karena segala kebijaksanan pemerintah yg pro rakyat dapat dijungkalkan /dikalahkan oleh voting yg ujung2nya hanya membuat anggota dpr gemuk dan kaya raya,karena sering memanfaatkan jabatan dari rakyat utk kepentiingan dirinya sendiri.
So kesimpulannya,tak ada gunanya slogan partai bersih dan islami dll.kalau ternyata semua bisa dibeli oleh uang!kasihan suara rakyat para pendukungnya ternyata disalah gunakan oleh mereka para anggota DPR untuk kepentingan pribadi dan partaianya.salam.
Yah, menyambung cerita awal gua, Seseorang yang gua anggep pejuang reformis sejati dan pejuang kebenaran sekarang sedang melawan kekuatan uang, walau gua ga tau apa itu termasuk strategi dia atau enggak, "teriakan" gua yang mendukung dia berjuang yang benar, kayaknya kalah dengan "bisikan" pejuang kepentingan yang ada disamping dia. Yah, gua cuma 22 tahun yang ga tau apa-apa tentang cara mengungkap kebenaran dengan benar.
Jadi gua buat prolog dulu sesuai dengan judul yang gua buat di atas. Ga tau nyambung atau enggak sama isi cerita "pembohongan hidup" yang gua tulis ini. bodo amat.
Batam - Mengutip berita di detik.com yang diucapkan Susno.
Susno: Apakah Mengungkap Kebenaran Perlu Dihukum?
Liat pak Susno yang menjadi musuh institusi yang membesarkan dia, setelah dibuang dia baru nemuin motivasi untuk mengungkap kebenaran. Seperti yang dia ucapin, apa orang yang mau mengungkap kebenaran di negara merdeka ini harus di hukum ?
Kasian orang2 yang pengen bilang kebenaran, kayak gua yang ga punya ilmu gini aja bingung gimana caranya nyampein ada yang salah. Orang yang punya ilmu, kemampuan, bahkan data dan Fakta kebenaran pun susah nyampeinnya.
Mau berjuang sendiri ? Gua bisa bilang sekarang ini ga bisa.
Lanjut, gua juga mengutip kata-kata ini di facebook yang gua bilang sangat keren.:
Sampai kapanpun kebenaran tak akan kalah sama kesalahan.... Usaha maksimal, fokus, konsisten, militansi tinggi, jujur, kerja keras...berdoa...pasti semuanya bisa terbongkar. Dari sini mulai kita lihat langkah selanjutnya.... apakah diam, bergerak sesaat, berjalan pelan, berdiri tegap atau tertatih-tatih, terbata-bata atau lancar, berjalan lancar atau malah mandeg, langkah tegap atau berlari.... Suatu saat 'SD' akan menemukan hal ini; terus berkibar atau malah mlempem dan padam? semoga yang terakhir -tidak, biar terbuka bobroknya negeri ini... dan semua berani untuk merubahnya...amien!!!
Kata2 terakhir gua sangat setuju, tapi yang gua pikirin, apa harus voting dulu seluruh rakyat negara kita ini untuk setuju kalo negara ini bobrok ?Terus gua mengutip opini seseorang :
Kebenaran Hakiki Tidak Bisa Ditentukan dengan Voting
157
48
4 dari 5 Kompasianer menilai Aktual.
Kalau sudah begini,apa yang bisa diharapkan dari majoritas anggota dpr yg ternyata bisa dibeli asal ada uang?kami sebagai rakyat jelata jadi pesimis pemerintah akan gagal menjalankan roda pemerintahanya dengan baik,karena segala kebijaksanan pemerintah yg pro rakyat dapat dijungkalkan /dikalahkan oleh voting yg ujung2nya hanya membuat anggota dpr gemuk dan kaya raya,karena sering memanfaatkan jabatan dari rakyat utk kepentiingan dirinya sendiri.
So kesimpulannya,tak ada gunanya slogan partai bersih dan islami dll.kalau ternyata semua bisa dibeli oleh uang!kasihan suara rakyat para pendukungnya ternyata disalah gunakan oleh mereka para anggota DPR untuk kepentingan pribadi dan partaianya.salam.
Yah, menyambung cerita awal gua, Seseorang yang gua anggep pejuang reformis sejati dan pejuang kebenaran sekarang sedang melawan kekuatan uang, walau gua ga tau apa itu termasuk strategi dia atau enggak, "teriakan" gua yang mendukung dia berjuang yang benar, kayaknya kalah dengan "bisikan" pejuang kepentingan yang ada disamping dia. Yah, gua cuma 22 tahun yang ga tau apa-apa tentang cara mengungkap kebenaran dengan benar.
Langganan:
Postingan (Atom)